Label

Rabu, 21 April 2010

Tepi Sisi SUSY AYU, Pohon Jambu Klutuk

Pernahkah kau menjumpai pohon jambu klutuk yang bisa menjadi sahabat baik sepanjang perjalanan tiga belas tahun kehidupanmu? Aku bahkan memilikinya, ia tumbuh di halaman rumahku. Dahannya sebagian yang menyeberang pagar adalah tempatku berayun sambil menyanyikan lagu lagu yang ada di ingatanku. Kadang penuh, kadang setengah kadang hanya reff nya saja. Pada setiap baris lagu selalu merupakan sapaan pada ujung dahan untuk mencium tepian parit di seberang pagar.

Akupun bisa menulis apa saja pada daunnya , atau menggores batangnya di tempat terpucuk yang tak mungkin terjangkau oleh mata yang lain. Menulis dengan pulpen yang sudah kehabisan tinta, (pulpen milik saudaraku yang kutemukan di tong sampah. Tentu aku belum boleh punya pulpen, aku masih kelas dua SD) tulisanku akan membekas pada daging batangnya. Kelak kau akan tahu, apa yang kutorehkan di sana.

Selalu seperti ini, tubuh kurus berbalut celana pendek dan kaos kesayangan bertuliskan namaku, bergantung dan berayun ayun seirama daun. Garam dan satu cabe rawit yang kugerus diam-diam di dapur tidak pernah lupa kubawa, menaburnya pada tatakan gelas , seakan menjadi bekalku di dalam kesunyian sambil mengunyah buah jambu yang mampu kuraih. Jika dalam jangkauanku tak ada lagi buah jambu yang menguning, maka yang mengkal atau pentil ku kunyah juga. Aku seringkali terpesona melihat butiran garam memerah, menempel pada belahan pentil jambu. Serupa pasir diterpa cahaya langit senja yang bertebaran di atas serpihan halus mutiara.

Di atas pohon, bahagiaku menyamudera. Bisa kuciptakan segala macam imajinasi sejumlah banyaknya daun. kadang aku berkhayal menjadi seorang nakhoda, keika kapalku diterpa badai maka dahan tempatku berdiri akan ku ayun-ayunkan sekuat tenaga. Beberapa daun kering kemudian berjatuhan.

Atau aku adalah seorang putri yang tersesat di tengah hutan, bersembunyi di atas sebuah pohon lalu beberapa binatang buas berjaga di bawahnya. Kali ini selembar daunpun tak boleh kusentuh, diam, tanpa suara. Sesekali ku tahan nafas, jangan sampai binatang buas itu mencium aroma manusia.

Tentu bukanlah waktu yang sebentar untuk berada di atas pohon dengan rentetan lagu dan berbagai imajinasi itu. Aku bisa menghabiskan waktu berjam jam , berlama lama di sana. Selain hari Minggu yang ramai dipanjati oleh teman teman sepermainanku, pohon jambu ini akan kesepian, seperti aku.

Di antara teman sekitar rumahku, hanya aku yang bersikeras memilih sekolah dasar paling populer di kotaku, meski berjarak belasan kilo meter yang mesti kutempuhi sepanjang harinya. Teman-temanku yang lain lebih senang memilih sekolah yang jaraknya hanya dua kilometer . Sesekali perasaan iri ingin berbaur hadir saat melihat mereka beramai ramai berangkat sekolah bersama. Bisa kau bayangkan, betapa menyenangkannya berjalan kaki ke suatu tujuan bersama teman-teman sejatimu?

Perbedaan sekolah itu terkadang jadwal jam sekolah kami pun berbeda. Diam diam aku membuat catatan, siapa teman teman yang memiliki jadwal waktu yang sama denganku, pada minggu pertama, ke dua dan seterusnya. Dengan demikian aku akan tahu, siapa yang bisa kuharap mendengar nyanyianku karena jika nasib sedang baik, suaraku serupa panggilan untuknya datang. Bukankah harapan sekecil apapun selalu memberi semangat pada diri di dalam waktu-waktu yang harus di tempuhi? Lalu semangat itu terkadang gemar memberi kita bonus, sebuah rasa bahagia di saat harapan menjadi kenyataan.

Setiap hari pada jam makan siang, seruan dari seorang perempuan pembantu yang dibayar setiap bulan dari gaji bapakku, nyaring terdengar. Seberapapun aku sedang berada di duniaku yang lain, aku harus segera kembali. Aku tidak suka seseorang yang tak kuharapkan mendekati dunia fantasiku. Maka kuputuskan untuk menghampirinya di ruang makan sambil menyodorkan piring kosong.

Tentu saja sebenarnya aku tidak lapar, aku tidak ingin makan, namun ancaman perempuan itu sangat menyiksa waktu malamku. Aku tentu tidak akan diijinkan berkunjung ke kamarnya di bagian belakang rumah yang bergaya kolonial ini.

Aku bergidik membayangkan saat-saat yang menyiksa menunggu bapak dan mamaku pulang dari acara makan malamnya bersama teman Bapakku para perwira itu berikut Nyonya ( aku kerap mendengar kata Nyonya itu dari teman Bapak ketika mereka saling menyapa dan bertanaya kabar istri teman).

Sama bergidiknya dengan berada di antara dua kakak perempuanku yang lebih tepat dibilang penjajah ketimbang saudara.

Setelah itu, alternatif terkahir akan jatuh pada kakak sulung laki laki satu-satunya. Ah, itupun dia tidak mudah untuk ku baca. Dia lebih sering mengusirku menjauh dari pintu kamarnya ketika kubuat celah pada sibakan korden untukmengintipnya, dia akan selalu berada di meja belajarnya, tekun.
Hanya sesekali aku dipanggilnya masuk dan mengijinkanku tidur di kamarnya hingga Bapak dan Mamaku pulang. Tentu saja dengan tutupan kelambunya juga serangkaian kata jangan berisik, tidak perlu bersenandung, awas kalau menyentuh barang-barangku. larangan itu tidak akan pernah menjadi masalah untukku karena ketika sudah terbaring di ranjangnya dengan mata terpejam, maka kelambu yang tertutup itu merupakan pintu yang mengunciku dari dunia luar. Aku kembali menemukan duniaku.

Dengan pertimbangan kebergidikan itu semua, panggilan makan siang merupakan perintah yang tidak mungkin dilanggar. Kadang aku makan berdua dengan perempuan itu di dapur. Aku sangat senang melihat melihat tiap suapan yang masuk ke mulutnya akan disusul dengan sebuah cabe rawit utuh. Aku akan merinding ngeri sekaligus tertawa kegelian mendengar suara gerusan pada cabe rawit itu lebih nyaring daripada nasi yang terkunyah. Perempuan itu akan memperlihatkan kehebatannya lagi, cabe rawit yang berikutnya dimasukkan ke dalam kunyahan yang belum selesai.

Aku selalu takjub melihat air mukanya yang tidak menunjukkan tanda tanda terbakar kepedasan dan aku ingin dia melakukan atraksi nya lebih dahsyat. Melalui takjubku yang bukan sandiwara, bisa ku selipkan tujuan untuk menghibur diriku melalui penderitaannya. sayangnya atraksi selalu berhenti sebelum puncaknya. Bukan karena dia tak mampu, melainkan karena persediaan cabe rawit sudah habis.

Tiba tiba aku menyesali, tiap kali aku naik pohon jambu, aku akan membutuhkan satu buah cabe. Namun rupanya tidak hanya satu untuk sehari, jika gerusan cabe dan garam itu sudah basah bercampur dengan titik titik air jambu yang terbelah maka aku akan mengganti dengan gerusan baru. Seberapa sering ia basah, sesring itu pula aku akan menggantinya, secara diam diam tentunya.

Aku menyadari sesuatu, ternyata persediaan kesenangan di dalam kotak ku hanya sebegitu jumlahnya. jika aku telahmengambilnya untuk yang ini, maka tidak akan ada lagi untuk yang itu. Tetapi aku tidak kehabisan akal, ku tawarkan ide kepada perempuan itu untuk menanam pohon cabe. Sebaiknya kita tanam di halaman belakang rumah, di samping bangunan besar dari kayu berisi hampir ratusan ekor ayam peliharaan Bapak. Perempuan itu sangat bersemangat, dia bilang ideku luar biasa. Besok kami harus mulai menjemur beberapa buah cabe rawit baru sebelum disemai.

Namun tidak selalu aku bisa makan siang dengannya karena rasa lapar menyerangnya sebelum jam makan siang. Tentunya aku tidak semangat makan sendirian, toh aku tidak lapar, apalagi makan sendirian di ruang makan lengang ini. Akan lebih menyenangkan makan di dapur bersama atraksi cabe rawitnya.

Diam -diam aku sering menipunya, juga menipu Mamaku ( kumanfaatkan kelihaianku menggerus). Aku hanya perlu mengambil sedikit nasi, menggerus hingga melekat di permukaan piring lalu ku siram sedikit dengan kuah sayur. Akan tampak seperti piring yang selesai dipergunakan untuk makan. Terbebaslah aku dari keharusan makan siang. Ah, dia dan Mamaku tidak pernah tahu, aku sudah kekenyangan di atas pohon jambu. --------

Susy Ayu


juni 2009

ANTARA JALAN TOL DAN TEPI PANTAI

Cerpen ini pernah dimuat di harian "Fajar" Makassar, tgl 15 Feb 09.
*********
Kami selalu bercinta dengan hangat, tidak satupun dari kami yang meragukan hal itu. Berada di dekatnya selalu saja membangkitkanku tak habis-habis meski perkawinan kami sudah berusia tiga tahun. Kami selalu mengisi kesepian kami tanpa buah hati dengan keintiman yang bervariasi. Suatu ritual yang tidak pernah membosankan, selalu saja kami tanggap terhadap kejenuhan yang mulai menampakkan diri. Sehingga jenuh itupun terbunuh tanpa pernah tumbuh di antara kami.

Aku mencintai istriku, aku terlalu takut akan kehilangannya. Aku ingin memiliki seluruh perasaannya, jiwanya, bahkan pikirannya. Semua ini mungkin karena ketidakmampuanku memberinya keturunan. Ah, kami berdua tidak pernah ingin benar-benar tahu siapa diantara kami penyebab itu. Aku tidak berani memintanya ke dokter, aku tidak punya cukup keberanian untuk menerima kenyataan bahwa akulah yang bermasalah atas hal itu. Kami seakan melalui semua ini dengan baik-baik saja, dengan perasaan cinta dan bahagia yang tetap meluap-luap.
Kami berkencan lagi di sebuah hotel sepulang kantor malam ini, sambil berbaring di sampingku dengan memakai baju dalam yang belum pernah kulihat sebelumnya, dia membisikkan kalimat cintanya dengan sangat lembut . Hembusan nafasnya di telinga membuatku jatuh cinta selalu dan dibawanya aku terbang bersama karbondioksida yang melayang di udara.

Aku selalu ingin tahu apa yang ada di dalam hatinya, di dalam pikirannya. Takkan kubiarkan ia terdiam tanpa mencurahkan segalanya kepadaku. Terlebih lagi di saat cintaku bebas tertumpah seperti ini. Aku harus tahu setitik apapun yang ada dalam benaknya. Aku tidak ingin sakit hati melihat tatap matanya yang terkadang menerawang setelah menikmati percintaan.
“Aku ingin kita bercinta di tepi pantai, di bawah sinar bulan, di antara desir ombak, mas.”
Itu jawaban yang ia berikan setelah aku bertanya tentang isi kepalanya.
“Tapi aku membencimu tiap kali aku mengingat bahwa kau pernah melewati keintiman yang luar biasa indah itu bersama orang lain sebelumnya. Aku benci. Aku nggak suka!”

Percuma. Meski itu masa laluku, ia tidak pernah bisa menerimanya. Maka tiap kali gusarnya timbul, selalu kata maaf kupintakan padanya. Permintaan maaf karena belum mengenal dirinya kala itu.

“ Bercinta di tepi pantai adalah impianku, mas. Penyatuan jiwa dan cinta dengan suasana yang begitu hangat. Hal itu terasa indah bila dilakukan dengan orang yang paling tercinta. Berpelukan mesra, saling berbisik, bercumbu dengan sayang....lalu kita bercinta dengan penuh gelora........”

Matanya menerawang lagi. Cerlang matanya hilang. Lalu kulihat ia menangis.
“Aku benci dengan keinginan ini. Seharusnya kaupun belum pernah merasakannya, seperti aku. Tapi kau sudah...ini nggak adil. Percintaan yang paling romantis sudah pernah kau lakukan dengan orang lain. Aku benci, nggak tahan rasanya!”

“Sama halnya denganmu, kau tahu, aku ingin sekali kita bercinta terburu-buru di dalam mobil di bahu jalan tol. Setiap kali kita sedang bergairah sepulang kantor. Aku juga sama bencinya denganmu, kau sudah pernah melakukan itu dengan orang lain sebelumnya.”

Seharusnya aku tidak perlu terbawa arus kebenciannya terhadap masa laluku. Tetapi gugatannya membuatku harus membangkitkan hal yang sama di dalam diriku untuknya. Rasa benci akan masa lalunya. Kubakar hatiku juga, tiba-tiba terasa sama, karena aku menjadi demikian cemburu bahkan memendam amarah. Terasa sangat menjengkelkan harus merasakan seperti ini. Sebelumnya aku tidak pernah terlalu perduli soal masa lalunya, dengan siapa ia serahkan keperawanannya, bagaimana ia bercinta, dimana, seperti apa. Kemarahannya menyeretku untuk berbuat hal sama, mencari-cari kejadian di masa lalunya untuk dipersamakan dengan bencinya. Aku juga berhak punya rasa benci pada kisahnya. Dan betapa sangat mujarab, ia memelukku untuk meredakanku dan tentu saja untuk meredakan gusarnya sendiri.

********

Betapa aku mencintai suamiku. Tanpanya akan membuat seluruh diriku menjadi hampa saja. Aku ingin memiliki seluruh perasaannya, jiwanya, bahkan pikirannya. Sangat bisa dipastikan bahwa semua ini karena ketidakmampuanku memberinya keturunan. Ah, kami berdua tidak pernah ingin benar-benar tahu siapa diantara kami penyebab itu. Aku tidak berani memintanya ke dokter, aku tidak punya cukup keberanian untuk menerima kenyataan bahwa akulah yang bermasalah atas hal itu. Kami seakan melalui semua ini dengan baik-baik saja, dengan perasaan cinta dan bahagia yang setiap saat berusaha dibangun.

Kami berkencan lagi di sebuah hotel sepulang kantor malam ini, sambil berbaring di sampingnya dengan memakai baju dalam yang belum pernah ia lihat sebelumnya, aku membisikkan kalimat cintaku dengan sangat lembut . Aku senang menghembuskan nafasku di telinganya, aku menyukai caranya menikmati itu. Aku tahu, ia seperti melayang, dan dibawanya aku serta.

Aku harus tahu setitik apapun yang ada dalam benaknya, tahu apa yang ada di dalam hatinya, di dalam pikirannya. Takkan kubiarkan ia terdiam tanpa mencurahkan segalanya kepadaku. Terlebih lagi di saat cintaku bebas tertumpah seperti ini. Aku juga selalu makin sibuk oleh bayanganku sendiri, impian terindahku untuk bersamanya dalam suasana yang paling romantis. Bercinta di tepi pantai. Semakin dalam kurasakan cinta dan gairahku, semakin jauh aku menerawang ke belakang, ke masa dimana aku belum datang dalam kehidupannya. Tiba – tiba perasaan benci dan marah menyelusup titik demi titik dan makin membesar menjadi bulatan hitam yang kemudian pecah menghamburkan impian terindahku itu. Aku membencinya, karena ia tidak akan merasakan khidmat dan syahdunya sebuah percintaan paling romantis. Sudah tentu baginya bukan hal yang demikian, ia sudah pernah merasakan sebelumnya. Baginya itu bukan hal baru. Aku setengah mati membenci masa lalunya.

Tapi ia pintar sekali kembali menyerang gusarku, setelah kukatakan perihal impianku dan kemarahan yang besar itu, ia balas menyudutkanku dengan keinginannya untuk bercinta di tepi jalan tol. Ah, apa indahnya percintaan macam itu? Itu suatu ketergesa-gesaan yang sama sekali tidak membuat perasaan cinta dan kelembutan kasih sayang berkembang makin dalam. Hanya sensasi yang sesaat begitu saja, lalu hilang. Tak ada pemaknaan yang dalam akan sebuah hubungan yang didasarkan atas cinta dan kasih sayang. Tidak khidmat. Tidak syahdu. Sesungguhnya aku tidak terima jika disebandingkan dengan keinginan bercinta yang sangat romantis, di tepi pantai! .

Tapi aku bisa apa? Pintar sekali ia membungkam kesalku. Aku pun tidak berkutik ketika ia utarakan kesalnya karena hasrat besarnya itu pun telah aku alami bersama orang lain di masa yang lalu. Ah, ia sodorkan besar-besar skor 1-1 di mukaku. Aku hanya memeluknya, api ini berbahaya jika dibiarkan membesar. Aku pun takut ia terus menerus kesal oleh keinginan itu, seperti halnya aku.

*************

Percakapan kami di kamar hotel dua hari yang lalu ternyata bisa menjadi duri dalam daging pada putaran waktuku selanjutnya. Jantungku selalu berdegup lebih kencang tiap kali melintas di jalan tol. Keringat dinginku menguap dalam ruang sempit ber AC ini, pedal gas kuinjak kencang-kencang, tidak akan pernah kubiarkan aku melaju di sisi kiri, sebisa mungkin aku menjauh dari bahu jalan. Tapi aku tidak bisa menghentikan kembaraan pikiranku, di bahu jalan sebelah mana istriku pernah bercinta? Pertanyaan gila macam apa ini? Kulihat istriku duduk sedikit merebah, blusnya berdada rendah, betis putihnya terlihat semampai, sebelah lengannya mesra bersandar di pangkuanku. Ia tampak sangat lembut namun menantang, rusak lagi otakku, seperti ini pula ia dengan kekasihnya dahulu. Mereka pasti menjadi lebih mesra, saling meraba, berciuman, lalu menghentikan mobil di bahu jalan untuk menyelesaikan permainan dengan begitu tergesa-gesa, takut terjaring polisi, tapi juga penuh gelora dengan berbagai macam alasan untuk berdebar. Percintaan yang sangat fantastik. Aku ingin bercinta dengan istriku seperti itu. Tapi muncul juga perasaan marah karena ia sudah pernah sebelumnya, bagiku itu peristiwa besar yang memiliki sensasi sangat luar biasa. Aku membenci itu, semua pikiran dan bayanganku. Kutepiskan tangannya dari tengah pahaku, ia terkejut, aku memberi jawaban seadanya, “ Aku tergesa-gesa harus tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Ini menggangguku, sayang.”

**********
Percakapan kami di kamar hotel dua hari yang lalu menjadi semacam duri yang menusukku berulang-ulang, dalam daging, kepala, jantung, setiap jengkal tubuhku. Anganku untuk bercinta di tepi pantai itu hadir semacam rasa yang menggilai isi kepalaku. Kami sungguh-sungguh berada sekarang di sini, di kota yang dikelilingi dengan pantainya yang indah. Kupikir ide cuti bersama ini dapat merekatkan kami lagi, setelah sekian lama makin parah kurasakan keinginanku itu.

Senja makin menjelang, seharusnya kami bisa menikmati. Menjengkelkan, kenapa tidak dari dulu kami bulan madu di tepi pantai, mungkin bayangan orang lain tidak separah ini? Tiba-tiba terasa asing ketika jemarinya merengkuh tubuhku, jemari suamiku sendiri. Bukan lagi gelora cinta yang hangat mengaliri tubuhku, tetapi api cemburu yang terasa membakar. Kutepiskan tangannya. Ternyata ia laki-laki yang pandai membaca isi kepalaku.
“Bagaimana caraku manghapus bayanganmu? Bukankah ini idemu untuk bercinta di pantai?”
“Aku nggak bisa melanjutkan ini..pahamilah...”
“Apa yang kamu mau kemudian?”
“Aku ingin bercinta dengan orang lain di pantai...bukan denganmu! Ini impian terindahku, tetapi nggak adil, mas sudah merasakannya dengan orang lain. Perasaan kita nggak seimbang..aku nggak mau...nggak mau..” Memalukan...aku hampir histeris menangis.
“Kita bisa bercinta di tempat yang lain, sayang. Jangan disini jika itu menyiksamu.....”
“Tapi ini tempat terindah di muka bumi....aku ingin denganmu..dengan laki-laki yang paling aku cintai..tapi kau sudah pernah dengan orang lain sebelumnya. Tidak akan sama penerimaanmu akan keindahan ini..tidak akan sama dengan ku!”
“Pilihlah laki-laki lain, bilang kalau kau sudah, dan segera kita wujudkan impianmu itu: bercinta di tepi pantai dengan laki-laki yang paling kau cintai..ah kau cintai kah aku? Begini caramu memperlakukan cinta kita?”

Terlambat, aku ingin meraih tangannnya. Ia sudah bangkit dari sisiku. Meski tidak keras dan kasar aku mendengar ia berkata ” kau tahu obsesi percintaanku yang belum terwujud denganmu? Di mobil, di pinggir jalan.....! Aku juga akan melakukan hal yang sama. Ini adilkan sayang?” Lalu ia mengecup keningku. Aku benar-benar sadar, semua ini memang harus segera diwujudkan...hanya itu yang ada di kepalaku kemudian.

*********

Aku muak. Aku hampir muntah. Perempuan yang ku tiduri di pesisir pantai ini bukan lagi istriku yang kukenal. Ia tentu sangat menikmati percintaan kami ini, tapi aku tidak. Betapa seluruh penerimaannya juga telah dinikmati laki-laki lain kemarin. Baru kemarin! Tentu di kepala istriku sekarang penuh dengan laki-laki lain itu. Dan..aku ingin muntah saja.....istriku juga ditiduri seperti ini. Bereaksi seperti ini, sehangat ini, sedalam ini. Lidah ombak yang membasahi kami tidak dapat menghapus jejak-jejak bekas tubuhnya kemarin. Pun pasir-pasir yang sama melekat di permukaan kulit licinnya ini. Butiran peluhnya, berpendar di bawah sinar bulan yang sama.
Entah perasaan apa lagi yang mesti kubangun untuknya. Aku muak.

***************
Aku tidak tahu, apa yang dirasakan suamiku barusan. Jalan tol ini cukup lengang, terwujud sudah impiannya itu. Tapi aku mual, bukan karena perasaan tegang bercinta tanpa rasa aman. Tapi...entahlah....ia seperti bukan suamiku lagi. Ah, pasti seperti ini yang ia lakukan kemarin dengan perempuan lain itu. Begitu panas, terburu-buru, bergelora......Aku tiba-tiba membencinya, membenci ia pernah meniduri perempuan itu. Pasti yang ada di kepala suamiku hanyalah yang kemarin......Seperti apa perempuan itu? Pasti ia lebih... ......Hoeeeekkkkkkkkkkhh!!!!!!!!
Aku muntah. Suamiku cuma melirik, dan aku membalasnya tajam.

**********
Sayang, maaf aku nggak bisa jemput kamu di kantor sore ini.
Ada meeting dengan klienku di luar kota, mendadak.
Aku nggak pulang. Kamu pake taxi aja yah?
Sender: Mas
+6281893XXXX
Aku membaca sms suamiku sambil tersenyum, ah aku juga tidak berselera untuk bertemu dengannya hari ini.

***************

Nggak papa kok mas,
Aku juga sudah pulang duluan. Mau arisan di rumah Ibu.
Aku juga mau nginep tempat Ibu, sudah kangen.
Sender: Yayank
+62812138XXXX

Aku lega. Istriku tidak banyak bertanya. Kupikir perasaan kami sekarang betul-betul telah sama.

**** SELESAI **********


Bekasi , Februari 09
 Susy Ayu

Selasa, 20 April 2010

PENUHI AKU

pada hentak nafas kau selipkan cinta
pada setiap sentakan begitu apik rindu kau kemas
kau cicipi satu-persatu peluh dambaku
hingga jerit tersemat menuai senyummu

"Penuhi aku lagi!"

dan waktu tak segera bergegas
hari pun kembali menulis kisah berulang
sebelum waktu mengancingkan baju
setelah sengal menyamakan detak

selalu kau singgahi ceruk sejak berabad lalu
yang menguarkan semerbak selama ribuan tahun
celah bibirmu bersuara
"Kau membuat seorang laki-laki tak ingin mencuci tangannya."
Susy Ayu
21 April  2010

CUTI MENIKAH

perlahan kita tarik garis lurus
namun selalu melengkung
ku rentang dari sini
kau rentang dari sana
tetap melengkung

lalu kau mulai berteriak
aku tak mau kalah sorak
lengkingmu meruntuhkan dinding
nyaringku merobohkan genting
rumah kita terombang ambing

hatiku terluka
hatimu terdera

"Bagaimana caraku pergi tanpa melukai?"
bahuku terangkat namun terasa ganjil
entah karena tak mampu menjawab
atau tak perduli

di lengkung itu kita duduk menata gemuruh
"Kita cuti menikah saja."
bahuku terangkat lagi, tak mengerti
"Mari beristirahat untuk berusaha bikin garis lurus."
"Berapa lama?"
"Sepuluh tahun."

hatiku bersepakat
penaku telah berkarat
kapurmu pun telah terkerat
kita menyerah setengah sekarat

kita belum bisa
membuat garis lurus yang serupa
meski di tempat yang berbeda
kita cuti menikah saja ***

# Susy Ayu
040509- 

PERCUMBUAN YANG SUNGGUH

kau tatap aku pada jarak tak berjarak
detak ini gemetar tak berpijak
seketika ada yang jatuh
duka lama kita meluruh

cinta menangis menyalahkan waktu
lidahmu singgah, punguti keruh satu persatu
hampa terdesah dari mulutku yang terbuka
cintamu menjilat tiap tikungan di sana

bahuku telanjang pernah terampas tanpa keluh
tak rela hingga kau rengkuh penuh penuh
terbenamlah berlama lama di lengkung dadaku
ku susui engkau tanpa gugatan membelenggu

waktu mendengus cipta gaung di bumi
di antara dua kakimu aku bersembunyi
kau berlumur jiwaku yang tumpah
raihmu lesakkan aku yang meruah
cemas ini terpahami dari celah bibirmu
seperti desah
seperti erang
bikin ku lena tak mengenali waktu

renggut saja utuhku
kenakan pada tubuhmu
tikam segala duka kita di perjalanan
meski hanya semalam yang berkenan  ***


#Susy Ayu
050509

MEMBACA PUISI KURNIAWAN JUNAEDHIE

(membaca puisi Kurniawan Junaedhie)


Buku kumpulan puisi seorang Kurniawan Junaedhie berjudul “Perempuan Dalam Secangkir Kopi” tengah terbuka di atas meja tulisku. Buku yang disampaikan oleh penulisnya pada sebuah rumah makan yang kami singgahi beberapa waktu lalu. Sungguh ini adalah sebuah buku yang tak pernah bosan kubaca. Maka ketika membacanya untuk kesekian kali ada perasaan yang cukup mengganggu hati. Sel sel kelabu di kepala segera cepat mengambil tindakan untuk mencegah ganjelan itu menyebar ke seluruh persendianku. Bikin aku lungkrah. Satu-satunya penyembuh hanya dengan cara menuliskannya, maka jadilah kutulis suatu perasaan yang begitu kuat tentang buku itu.


Membaca puisi KJ, aku seperti diajak menelusuri sebuah tempat dan suasana yang pernah kulewati yang sepenuhnya berisi benda benda yang tidak menyita perhatianku; cangkir, serbuk kopi, gula, air panas, termos, kamar, cafĂ©, tiang listrik, dan sebagainya. Tetapi entah ketika membaca puisi KJ, aku seperti bibawa kembali ke tempat tempat itu..dan diajaknya aku melihat benda benda yang sebelumnya tak menyita perhatian menjadi sesuatu yang demikian menarik dan membekas. Astaga….betapa cantiknya semua benda itu kau lekuk lekuk menjadi berbagai bentuk tanpa kehilangan keasliannya. Aku pernah bilang begitu, dan dia hanya tersenyum.


Ku pikir KJ tidak memandang sesuatu sebagai apa, tetapi bagaimana. Seperti itulah yang tergambar kemudian di seluruh puisi puisinya. Pada puisinya “Perempuan dalam Secangkir Kopi 1 dan 2 “ kita bisa melihat betapa lihainya dia memainkan secangkir kopi di dalam genggamannya, membentuknya menjadi sebuah wadah serupa hatinya. Lalu perempuan itu berenang di sana, memunculkan semacam godaan dan daya tarik yg timbul di dalam hatinya. Juga bagaimana sendok kecil itu dia gunakan untuk mengaduk seorang perempuan agar menyelam makin dalam ke dalam lubuk kopi. Lubuk hatinya.


Bagi beberapa penyair, (entah itu anak bawang atau sudah kawakan) biasanya akan melukiskan tentang ingatannya terhadap seseorang dengan cara begitu saja. Seperti sebuah frame lalu seseorng muncul begitu saja di tempat yang abstrak..mungkin melayang di udara, di benak , dengan serangkaian kata kata indah penghias taman…Namun tidak bagi KJ. Dia bisa meletakkanmu di mana saja, di dalam sebuah benda yang tidak abstrak, benda yang ada di sekitar kita, di dalam cangkir (“perempuan dalam Secangkir Kopi 1-2” hal 1&2), di atas mesin photo copy ( “ Keroncong Kebayoran” hal.18-19) atau ke dalam bubu ( “Kau, ikan & Nelayan” hal. 6). Lalu kita merasa benar benar berada di dalamnya lengkap dengan suasana kopi, lalu tertempa cahaya mesin photocopy, juga sesak di dalam bubu. Kita akan diletakkan pada tempat yang benar benar benda…bukan sesuatu yang abstrak, namun di tempat tempat yang tidak terduga.


Membaca puisi KJ. Aku menangkap aura kesederhanaan, tentu saja dari hatinya, sepertihalnya kita menulis dengan hati. Tidak ada yang muluk muluk dari puisi puisinya, dengan kata lain puisi puisi itu tidak dibangun dengan konsep puitika yang njelimet dan rumit namun dibentuk dari putika yang sederhana, jernih sehingga gagasan dari penyairnya tersampaikan secara komunikatif. Sebab seringkali penyair terpaku pada diksi diksi yang dipercantik sedemikian rupa sehingga penyairnya terjebak pada metafor-metafornya sendiri, kemudian puisi menjadi kebingungan mencari arah dalam menyampaikan makna dan pesan.


Ini menimbulkan kesimpulan yang kutarik sendiri, bahwa kita tidak perlu mati-matian mencari puitik dalam kalimat, namun membangun puitik itu pada keseluruhan puisi.


Puisi-puisi KJ memang terasa bening, sehingga kita dengan mudah melihat kedalaman hingga dasarnya. Seperti sebuah frame yang berisi nama-nama, sosok sosok pada suatu waktu dan tempat. Kulihat KJ sangat menghargai hubungan dengan orang orang di sekitarnya, bahkan menjadikan itu salah satu elemen yang sangat berarti dalam hidupnya. Secara tematik, puisi puisi KJ menghadirkan kesendirian, kesunyian, kesedihan, juga cinta yang meluap. Tema tema itu begitu kuat getarnya namun tidak diolah dengan pengungkapan yang cengeng.


Puisi puisi KJ juga mengandung aura erotik diperdalam dengan konstruksi imajinasi. Cumbu yang bagi KJ adalah suatu bangunan yang layak ditulis dalam pencitraan atas rasa cinta pada puncaknya. Begitulah apresiasi KJ terhadap keindahan atas dorongan hasrat yang kuat, di mana nafas nafas birahi itu dikemas dengan halus dengan cita rasa hingga tidak vulgar yang bisa berkembang ke arah pornografi.


Membaca puisi KJ, tidak ada halaman yang kubaca sambil lalu. Selalu ada rasa yang berbeda pada tiap puisinya, seperti pulasan warna warna yang mampu memberi paduan dominasi warna berbeda pada masing masing kanvas.


Kita tidak perlu harus mengenal siapa dan bagaimana Kurniawan Junaedhie tapi memiliki buku puisinya adalah seperti terbawa pada dunia yang tidak bisa kita temui di peta manapun. Tidakkah menarik untuk sebuah petualangan imajinasi yang menginspirasi?


Kurniawan Junaedhie telah berada di dalam elemennya, sehingga bilah bilah jarinya mencipta puisi-puisi yang bercahaya. ***




Susy Ayu
(penikmat sastra, bukan pengamat)
Maret 2010



semua puisinya kusuka, tapi akan kubawa satu puisinya ke sini yang menjadi inspirasi untuk judul buku ini

" PEREMPUAN DALAM SECANGKIR KOPI (2) "

- sa


Aku ingin sekali bisa mengapung sembari berenangan di dalam kopimu. Kubayangkan, betapa nikmatnya hidup dipermainkan air yang gelap dan pahit sambil diguncang-guncang oleh sendokmu. Aku akan menukik, menyelam dan menggapai tanganmu lalu sesekali, sambil berkecipakan di dalam air yang hangat itu aku akan mencium bibirmu di pinggir cangkir. Tak ada yang bisa cemburu. Juga air ludah dan lendir di mulutmu.


Aku suka caramu memasukkan gula pasir ke cangkir dan menyedunya dengan air. Aku suka caramu membaui kehangatan air kopi dan caramu mencecap dengan lidahmu. Kamu paling akan bertanya, sejak kapan kamu suka berenang? Aku akan menjawab, sejak kamu suka menjerang air, dan menuangkannya ke dalam termos. Di tengah hidup yang pahit, aku senang menyelam ke dalam kopi bersama seorang perempuan yang hangat. Tak ada yang bisa cemburu. Juga sendok dan piring kecil dekat cangkirmu.


Olala, Bintaro. Okt. 2009
Kurniawan Junaedhie

RAMPAS SAJA TUBUHKU


setarikan nafas kainku tersingkap
sebutir peluh menebas segala santun
sebening telaga merebak di kelopak
sejumput air mata menyelip di dada

kaulah laki laki selipkan jemari
di rentang kaki meraba denyutnya
maka rampas saja tubuhku
dari kemerdekaan tanpa cinta
untuk kau rentang lekuk itu
merebah di bawah lenguhmu
dengan begitu aku akan tahu
ada namaku di celah bibirmu **

Susy Ayu
19 April 2010

KAU DAN PROMETHEUS

sebermula adalah titik
untuk kemudian api

sebermula adalah embun
yang kau curi dari selangkanganku

untuk kemudian terkutuklah engkau
dipatuk sepi tiap kali **

Susy Ayu