Label

Jumat, 07 Mei 2010

MAAFKAN


Dimuat di majalah KARTIKA no. 65, Desember 2008

Bila matahari telah tenggelam, maka ini adalah malam minggu kesekianku yang kulewati tidak dengannya. Terkadang aku begitu berterima kasih bahwa dalam hubungan kami tidak mengenal ritual malam minggu. Bagiku perempuan itu begitu sangat pengertian. Bisa terbayangkan aku akan direpotkan oleh hal-hal menjengkelkan karena wajib lapor pada malam bagi sebagian orang sangat keramat itu. Dengan leluasa aku bisa melewatkan waktu pada malam seperti itu bersama teman-temanku; clubbing, bilyard, juga ketiduran sampai pagi akibat pesta wine. Tentu saja hal itu membuat iri sebagian teman-temanku yang terikat kontrak malam minggu dengan kekasihnya. Aku sangat bangga dengan kebebasanku, walau kedengarannya sedikit norak. Seringnya aku mentertawakan teman-temanku yang harus mengarang bebas untuk menciptakan alasan yang masuk akal bagi kekasihnya demi sebuah ijin bebas tugas pacaran. Aku begitu leluasa, bahkan ketika menjalin kisah semalam dengan perempuan lain, aku selalu saja selamat keesokan harinya.

Akibat keleluasaanku itu aku kembali jatuh hati dengan perempuan lain yang kukenal saat clubbing di sebuah hotel, tentu saja dengan teman-teman bujanganku. Kupikir mungkin karena pada tubuhnya begitu banyak tersimpan harta karun yang lebih membuatku mabuk ketimbang jack danields. Setiap laki-laki selalu bilang seperti itu; perpaduan kesempurnaan wajah dan tubuhnya membuat sipapun yang melihatnya tidak ingin memalingkan wajah. Kami memiliki kebiasaan yang serupa, maka bersenang-senang dengan teman-teman dan bercinta dengannya bisa kunikmati pada malam dan tempat yang sama.

Selama berbulan-bulan kujalani sebagai symbol laki-laki yang bahagia, tentu saja di mata persekutuan para laki-laki penikmat dunia gemerlap malam. Bagaimana bisa dikatakan tidak bila aku memiliki dua kekasih sekaligus yang bisa mendukungku di segala suasana. Satu orang yang begitu lembut dan pengertian sedangkan satu lagi bagitu liar dan menyenangkan untuk berhura-hura.

Tetapi kini perempuan yang datang belakangan itu mulai berusaha menguasaiku, pun ketika aku ingin benar-benar bebas menikmati dunia hingar bingarku. Aku terpenjara di dalam kebebasanku. Ah aku menyesal, perempuan baru itu sekarang menjerat waktuku. Ini terasa sangat menyebalkan. Pertengkaran demi pertengkaran merebak di lantai disco, di ruang karaoke, di tempat bilyard, di tengah pesta wine. Aku mulai bosan dengannya.

Yang sangat mengejutkan adalah dia berani menamparku ketika seorang gadis yang mengkilap dan wangi menjatuhkan dirinya di bahuku, sekenanya aku memeluk tentu saja. Kami terhuyung berdua, aku mencium bau minuman keras dari nafasnya. Akupun tengah kehilangan keseimbangan, ah bukankah malam itu memang untuk bersenang-senang, aku tak perlu merasa cemas untuk tidak sepenuhnya dalam keadaan sadar. Apapun yang terjadi dalam ketidaksadaran itu adalah suatu lelucon yang begitu menggairahkan.

Aku bergulingan di lantai dengan gadis itu, saling mendekap, lalu kami sama bangkit dengan senyum dan tawa. Sebelum pergi, gadis itu mencium bibirku lalu merapikan rok mininya yang tersibak. Belum lagi aku benar-benar merasa tegak untuk berdiri dan kembali mengikuti alunan hingarnya musik, sebuah tamparan yang sangat keras menghantam pipi kananku. Kilatan marah dan cemburu membakar dari mata perempuanku keduaku itu. Tentu aku tidak membalasnya, kutangkap saja tangannya yang akan melayang dua kali, lalu kutinggalkan ia begitu saja. Di mataku dia melakukan kesalahan yang sangat fatal, adalah aib menampar wajahku untuk alasan apapun.

Ternyata aku tidak perlu merasa kuatir untuk tidak bisa melepaskannya, ketika di malam berikutnya ia sudah kutemui di lantai disco dengan laki-laki lain. Aku memang laki-laki yang beruntung, begitu selalu yang dilontarkan teman-teman persekutuanku; kapan saja aku bisa meminta perempuan untuk datang dan pergi.

Satu jam lagi aku akan berangkat menjemput Rohan, lalu kami akan berkumpul dengan yang lain untuk menghabiskan sepanjang malam di sebuah cafe . Tapi entah mengapa, perasaan malas tiba-tiba menyergapku. Wajah perempuanku satu-satunya berkelabat di kepala. Ada kerinduan yang aneh, lebih deras dari sebelumnya. Segera kutepis rasa melankolis yang bisa membuatku bergantung padanya, toh ia tampak baik-baik saja tanpa aku, maka aku juga akan selalu baik-baik saja tanpanya. Pertukaran yang menurutku cukup adil.

Aku melesat keluar garasi, sudah kubangun cukup kuat untuk tetap menjemput Rohan. Seperti usahaku membangun bayangan indahnya remang cafe dan nikmatnya minuman yang kutengguk nanti. Gadis-gadis yang berseliweran dengan kerlingan genit, perkenalan-perkenalan yang tak terduga. Ah, makhluk rupawan itu punya cara yang tak pernah habis untuk membuat laki-laki bergelora dan merasa terlahir terus menerus.

Aku terhenyak. Tanpa kusadari jalan lurus yang mesti aku lalui menuju apartemen Rohan malah berada semakin jauh di samping kiriku. Aku kenal betul jalan ini mesti sangat jarang kulewati. Memalukan sekali harus mengakui diri bahwa ternyata alam bawah sadar lebih kuat menggiringku ke jalan ini. Semakin berat rindu menyelip-nyelip mencari celah kosong di hati dan pikiranku. Aku menyerah, ini malam minggu pertama sejak kami menjalin hubungan yang akan kulewati untuk bertemu dengannya. Itupun dengan keinginan yang berusaha kupatahkan.

Dua ratus meter lagi aku akan sampai, aku berdebar. Ia akan sangat terkejut atas kedatanganku yang tiba-tiba. Aku mesti bilang apa karena tiba-tiba menemuinya? Kangenku tak bisa terbendung? Sementara telepon dari Rohan di telepon genggamku ku reject setiap kali berkedip. itu lebih membuat dadaku bergemuruh. Aku tidak bisa berbalik arah. Lebih menyebalkan berada di tempat lain sendirian, maka tak ada tempat untuk pulang.

Kubiarkan aku melintas rumahnya tanpa berhenti. Rumah itu sepi, lampu terasnya mati .Aku menjadi sangat panik, bagaimana bila ternyata ia tak ada? Atau ada laki-laki lain duduk menemaninya? Mungkin saja ia tengah menghabiskan malam ini dengan seseorang di tempat lain? Aku tiba- tiba menyesal, kenapa aku tidak pernah ingin tahu dimana ia berada? Apa kebiasaannya di malam – malam seperti ini? Dan untuk pertama kalinya aku merasa khawatir bila kehilangan seorang perempuan. Kehilangan dirinya.

Tak kubiarkan aku melewatinya lebih dari dua kali, maka aku menepi dan menarik napas dalam sebelum melangkah turun dan membunyikan bel rumahnya. Dua kali, tidak ada tanda-tanda jawaban. Lampu teras menyala, kemudian aku sudah benar-benar berada di dekatnya. Duduk menatap matanya lurus-lurus, aku terpesona. Dibalik baju tidurnya dengan wajah yang polos tanpa riasan sedikitpun, aku merasa menemukan kecantikan sejati. Ia begitu jelita.

Entah kekuatan sihir macam apa yang ia miliki, aku begitu terhanyut oleh kata-kata yang terurai dari mulutnya. Mungkin itu mantera yang merasuki keseluruhan hatiku. Ah, itu bukan mantera. Ia hanya mengatakan perasaannya, ” Meski terkejut, aku senang kau datang . Sebenarnya aku berharap seperti ini sejak dulu.”

Aku tahu, ia tidak membutuhkan alasanku datang secara mengejutkan begini. Aku pun tidak merasa harus menceritakan apa saja yang aku lakukan selama melewatkan malam begini tanpanya, hanya sorot mata beningnya memperlihatkan kekayaan cinta. Aku bisa menduga, seluas itu pula kepercayaannya padaku. Tiba-tiba aku merasa telah mengkhianatinya selama ini, suatu perasaan yang tidak pernah ada sebelumnya.

Tatap matanya menuntunku untuk membuat sebuah pengakuan, pengakuan akan kehadiran perempuan lain namun berakhir dengan keyakinan hati meninggalkan perempuan lain itu untuk memilihnya juga sederetan janji untuk selalu bersetia. Aku tidak sedang dalam rangka memanipulasi hatinya, tetapi inilah yang sesungguhnya aku rasakan. Wanita ini rupanya mempunyai arti yang besar bagiku, getar cintaku kurasa hidup sampai saat ini.

Aku jatuh hati pada tiap tiap kali pertemuan dengannya. Semakin menggelembung sehingga menjadikannya satu-satunya perempuan yang mampu menambat hatiku. Debu cinta tidak lagi bertebaran di sekitarku, seperti sebelumnya, dimana aku bisa dengan begitu mudah jatuh cinta pada siapa saja yang aku temui dan di saat debu itu terbang maka melayang pula cintaku.

Lalu sampailah aku pada malam ini, di dalam sebuah cafe yang cahayanya temaram. Aku duduk berhadapan sambil menggenggam erat tangan halusnya. Akhirnya sampai juga aku pada perjalanan terakhirku, aku terdampar pada titik keyakinanku untuk memiliki dirinya selamanya. Maka kemudian dengan penuh cinta kukenakan di jari manisnya cincin terindah yang pernah kulihat , juga merupakan satu-satunya benda yang kuberikan pada seorang perempuan seiring perasaan yang luar biasa dalam dan hikmat. Aku memintanya untuk bersedia menikah denganku. Kutangkap wajahnya yang terkejut, ah rupanya adegan yang sudah begitu kurencanakan ini menjadi demikian indah. Ini akan menjadi peristiwa yang akan terpahat kuat di dalam riwayatku.

Perlahan ia menarik jemarinya dari telapak tanganku yang terbuka, matanya meredup. Sebuah pengakuanpun terurai dari bibir indahnya, tentang seorang laki-laki lain yang kemudian hadir di dalam hari-hari yang telah kami lalui. Sebelum kulihat ia melepaskan lingkaran putih bermata berlian dari jarinya sempat kudengar ia mengucapkan sesuatu. “ Maaf untuk tidak memilihmu.”


****** SELESAI******

4 komentar:

  1. Bukan pilihan. Aq slalu merasa sakit pd kata ini. Cerita yg sederhana. N bs trjd pd spa saja.

    BalasHapus
  2. makasih DY, sudah mampir dan berapresiasi ....ya, kadang orng lengah untuk bisa membaca dan tidak merawat apa yang dimilikinya, sehingga terpukul atas sesuatu yang sm sekali di luar dugannya....Bersiaplah dan berhati hatilah...gitu kali ....hehehhe

    BalasHapus
  3. it's tick tock honey, the time is ticking, hehehehe..

    BalasHapus
  4. wiwi...heheheheh..makasih udah mampir ya..?

    BalasHapus